Beranda | Artikel
Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 4)
Rabu, 9 Mei 2018

Baca pembahasan sebelumnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 3)

Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Menasihati Penguasa yang Dinilai Berbuat Kesalahan

Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa menghina dan mencela penguasa bukanlah jalan (manhaj) yang ditempuh oleh ahlus sunnah dalam berinteraksi dengan para penguasa. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menahan lisan dan jari kita dari mencela mereka. Renungkanlah bagaimana nasihat indah yang disampaikan oleh seorang ulama rabbani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut ini,

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memahami manhaj salaf (manhaj ahlus sunnah) dalam berinteraksi dengan penguasa. Janganlah kalian menjadian kesalahan penguasa sebagai jalan untuk menyebarkan kekacauan dan menjauhkan hati (rakyat) dari penguasa. Karena hal ini adalah kerusakan yang nyata dan salah satu sebab utama terjadinya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

Memenuhi hati dengan kebencian terhadap penguasa akan menyebabkan keburukan dan kekacauan. Sebagaimana memenuhi hati dengan kebencian terhadap ulama akan menyebabkan diremehkannya para ulama, dan kemudian akan menyebabkan diremehkannya ajaran syariat yang mereka bawa (dakwahkan, pen.).

Jika seseorang berusaha untuk menjatuhkan kewibawaan ulama dan penguasa, terlantarlah syariat dan rasa aman. Karena ulama telah dijadikan sebagai bahan celaan, perkataan mereka tidak lagi dipercaya. Demikian pula, ketika penguasa telah dijadikan sebagai bahan celaan, maka mereka (rakyat) akan membangkang terhadap perintah (kebijakan) penguasa, sehingga terjadilah kejelekan dan kerusakan.

Menjadi kewajiban atas kita untuk memperhatikan jalan yang ditempuh ulama salaf (ulama ahlus sunnah) dalam berinteraksi dengan penguasa, dan mengontrol diri kita masing-masing, dan mengetahui dampak dari perbuatan kita.

Dan ketahuilah bahwa seseorang yang memancing kerusuhan, dia itu hanyalah memberikan pelayanan kepada musuh-musuh Islam. Maka yang menjadi tolak ukur (kehebatan dan ketokohan seseorang) bukanlah revolusi dan emosi yang meledak-ledak. Namun yang menjadi tolak ukur adalah sikap hikmah.

Bukanlah yang aku maksudkan dengan hikmah adalah mendiamkan kesalahan. Namun, kesalahan itu perlu diperbaiki supaya kita bisa memperbaiki keadaan, bukan semata-mata mengubah keadaan (karena kalau mengubah, bisa jadi berubah ke yang lebih jelek, pen.). Seseorang yang memberikan nasihat adalah mereka yang berbicara untuk memperbaiki keadaan, bukan semata-mata mengubah keadaan.” (Risalaah Huquuq Ar-Raa’i wa Ar-Ra’iyyah)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita bagaimanakah metode dalam menasihati penguasa, yaitu dengan memberikan nasihat antara dia dan sang penguasa saja (empat mata), tidak diumbar ke khalayak umum.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاِنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2/94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah 2/507)

Hadits di atas dinilai dha’if oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu Ta’ala, sehingga beliau menyelisihi apa yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Syaikh Muqbil membolehkan untuk mengkritik penguasa secara terbuka di forum-forum umum, selama niatnya baik dan tidak memberontak kepada penguasa. Akan tetapi, pendapat yang benar -Wallahu Ta’ala a’lam- adalah pendapat jumhur ulama ahlus sunnah yang melarangnya. Karena taruhlah hadits di atas dha’if, namun maknanya benar dan juga demikianlah praktek yang dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menasihati penguasa.

Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala berkata,

آمُرُ أَمِيرِي بِالْمَعْرُوفِ؟ قَالَ: إِنْ خِفْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَلَا تُؤَنِّبِ الْإِمَامَ , فَإِنْ كُنْتُ لَا بُدَّ فَاعِلًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ

“Seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah aku memerintahkan penguasaku dengan melakukan kebaikan?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Jika Engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, maka jangan mencela dengan keras. Namun jika Engkau tidak boleh tidak (harus) melakukannya, maka hendaknya (dalam kondisi sepi) antara Engkau dan dia saja.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 15/74)

Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Sa’id bin Jahman ketika Sa’id bin Jahman berusaha memaklumi tindakan kelompok Khawarij yang berbuat teror dan kerusuhan bahkan sampai membunuh ayah Sa’id bin Jahman sendiri. Karena menurut persangkaan Sa’id, tindakan Khawarij itu disebabkan oleh kedzaliman dan ketidakadilan penguasa,

‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu meraih tangan Sa’id kemudian mencubit dengan keras dan mengatakan,

وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

“Celaka Engkau wahai Ibnu Jahman. Hendaklah Engkau komitmen dengan jamaah kaum muslimin (bersama penguasa mereka, pen.). Jika penguasa mau mendengarkan nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikanlah kepadanya apa yang Engkau ketahui. Jika dia mau menerima nasihatmu, maka itulah yang diharapkan. Jika penguasa tidak mau menerima nasihatmu, biarkan, karena Engkau belum tentu lebih mengetahui daripada sang penguasa.” (HR. Ahmad 4/382, Ibnu Majah no. 173 dan Ath-Thayalisi no. 822. Lafadz hadits di atas berasal dari Musnad Imam Ahmad. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sunnah li Ibni ‘Aashim no. 905 dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’i di Shahihul Musnad no. 542)

Perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas juga diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika banyak orang membicarakan kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,

أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟

“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?”

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata, tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989)

Lihatlah, bagaimana sahabat Usamah bin Zaid rahimahullah menilai bahwa membuka (menyebarkan) nasihat kepada pemimpin di tengah-tengah masyarakat (yang seharusnya hanya ditujukan kepada pemimpin secara empat mata) adalah sebab munculnya berbagai fitnah (kerusakan).

Maka kita jumpai tiga sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan bahwa nasihat kepada penguasa itu hendaknya dengan empat mata. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengamalkan kandungan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kami sebutkan di atas.

Ibnu Nukhas rahimahullahu Ta’ala berkata,

ويختار من الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سرا، ونصحه خفية، من غير ثالث لهما

“Dan dipilihlah berbicara dengan penguasa secara sembunyi-sembunyi daripada berbicara di hadapan banyak orang. Bahkan diharapkan untuk berbicara dengannya secara sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang ke tiga.” (Tanbiihul Ghaafiliin, hal. 64)

Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Bukanlah termasuk manhaj salaf (manhaj ahlus sunnah), mempopulerkan keburukan penguasa dan menyebut-nyebut kejelekan penguasa di atas mimbar-mimbar (semacam koran, medsos, buletin, dan lainnya, pen,), karena hal itu hanya akan menyebabkan penggulingan pemerintahan. Juga akan menyebabkan (rakyat) tidak mau lagi mendengar dan taat terhadap penguasa (membangkang) dalam kebaikan serta menyebabkan pemberontakan yang hanya menimbulkan madharat dan tidak ada manfaat. Akan tetapi, metode yang diikuti oleh ahlus sunnah adalah memberikan nasihat empat mata antara dia dengan penguasa, atau mengirim surat kepadanya, atau berhubungan dengan ulama yang bisa menyampaikan pesan tersebut sehingga bisa memberikan arahan kepada penguasa menuju kebaikan.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 8/210)

Akan tetapi, karena semakin jauhnya umat ini dengan ilmu, kita dapati sebagian orang yang justru menghina sunnah Rasulullah yang satu ini. Wal ‘iyaadzu billah.

Bolehkah Menasihati secara Terang-Terangan?

Menasihati penguasa dengan terang-terangan itu diperbolehkan, namun dengan syarat pokok harus di hadapannya langsung, bukan sekedar teriak-teriak di belakang, ketika sang penguasa tidak ada di hadapannya. Ini pun ketika dalam kondisi memaksa dan ada maslahat di dalamnya dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar. Karena hukum asalnya adalah nasihat dengan empat mata. Hal ini sebagaimana kisah Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu bersama dengan gubernur Madinah, Marwan bin Al-Hakam.

Ketika shalat ‘id, Marwan bin Al-Hakam mengubah tata cara shalat menjadi memulai dengan khutbah terlebih dahulu, agar lebih banyak orang mendengar khutbahnya. Abu Sa’id pun mengingkari dengan mengatakan,

أَيْنَ الِابْتِدَاءُ بِالصَّلَاةِ؟

“Mulailah dengan shalat!”

Gubernur Marwan mengatakan,

لَا، يَا أَبَا سَعِيدٍ قَدْ تُرِكَ مَا تَعْلَمُ

“Tidak wahai Abu Sa’id, sesuatu yang Engkau ketahui itu telah ditinggalkan.”

Abu Sa’id menjawab,

كَلَّا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَأْتُونَ بِخَيْرٍ مِمَّا أَعْلَمُ

“Sekali-kali tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, setahuku kalian tidak akan mendatangkan kebaikan sedikit pun.” Dia mengulangi tiga kali, dan pergi meninggalkan tempat itu. (HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889. Lafadz hadits ini milik Muslim.)

Ini adalah contoh dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu yang memberikan nasihat di hadapan sang gubernur langsung, namun tidak menjelek-jelekkan sang gubernur di belakangnya. Yang perlu diperhatikan, yang menegur sang gubernur adalah sahabat senior Abu Sa’id Al-Khudhri, bukan semua orang yang hadir di situ. Dan beliau menegur atas dasar ilmu, bukan asal menegur. Hal ini menunjukkan bahwa hendaknya yang menasihati adalah seseorang yang berilmu dan memiliki kapasitas dalam bidangnya, sehingga nasihat tersebut mungkin untuk didengar. Dan ketika nasihat tersebut tidak diikuti oleh sang gubernur, maka lihatlah, sahabat Abu Sa’id pun kembali masuk shaf, shalat ‘id bersama sang gubernur sampai selesai, dan tidak menjelek-jelekkan di belakang sang gubernur setelah kejadian itu.

Selain itu, hadits ini pun kembali menegaskan bahwa menasihati penguasa sebaiknya secara sembunyi-sembunyi (sebagaimana hukum asalnya). Karena setelah shalat ‘id, Abu Sa’id kembali mendatangi sang gubernur dan membicarakan hal tersebut bersamanya, tidak di hadapan banyak manusia.

Ketika menjelaskan maksud “pergi meninggalkan tempat itu” dalam hadits di atas, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

قال القاضي عن جهة المنبر إلى جهة الصلاة وليس معناه أنه انصرف من المصلى وترك الصلاة معه بل في رواية البخاري أنه صلى معه وكلمه في ذلك بعد الصلاة

“Al-Qadhi berkata, ‘Maksudnya beliau pergi dari mimbar tersebut untuk mengambil tempat melaksanakan shalat ‘id, bukan pergi dari tempat shalat tersebut sehingga tidak shalat bersama sang gubernur. Bahkan dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Abu Sa’id tetap shalat bersama Marwan dan kemudian berbicara setelah shalat berkaitan dengan masalah tersebut.’” (Syarh Shahih Muslim, 6/178)

Menasihati secara langsung di hadapan penguasa inilah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Sebaik-baik jihad adalah kalimat keadilan (mengungkapkan kebenaran) di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim.” (HR. Ibnu Majah no. 4011. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “di sisi penguasa yang dzalim”, yaitu berbicara langsung kepadanya (tatap muka). Sebagaimana jihad di jalan Allah Ta’ala yang dilakukan dengan berhadapan langsung melawan musuh di medan peperangan.

Al-Mubarakfuri rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan kandungan hadits di atas,

قال الخطابي وإنما صار ذلك أفضل الجهاد لأن من جاهد العدو كان مترددا بين الرجاء والخوف لا يدري هل يغلب أو يغلب .وصاحب السلطان مقهور في يده فهو إذا قال الحق وأمره بالمعروف فقد تعرض للتلف وأهدف نفسه للهلاك فصار ذلك أفضل أنواع الجهاد من أجل غلبة الخوف

Al-Khaththabi berkata, “Tindakan itu lebih utama dibandingkan jihad karena barangsiapa berjihad (melawan musuh), maka dia berada dalam kondisi antara berharap (menang) atau ras takut (kalah), dia tidak mengetahui apakah akan menang atau kalah. Adapun orang yang ditindas penguasa dzalim tersebut, jika dia mengatakan kebenaran dan memerintahkan kebaikan, hal itu akan menyebabkan dia dilukai (disiksa) atau bahkan dibunuh oleh sang penguasa. Jadilah tindakan tersebut lebih utama daripada jihad karena yang lebih dominan adalah rasa takut.” (Tuhfatul Ahwadhi, 6/329)

Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang ini dengan menjelek-jelekkan penguasa di mimbar-mimbar, di forum-forum terbuka, di medsos, di koran-koran, buletin, majalah, atau dengan membuat “meme” bernada ejekan dan hinaan, dan sebagainya, tidaklah yang dimaksudkan oleh hadits tersebut di atas. Bahkan sangat jauh dari maksud hadits di atas. Dua hal ini tentu saja sangat jelas perbedaannya. Rasulullah mengatakan, “di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim”, sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah “di belakang penguasa yang dzalim (tidak di hadapannya).”

Oleh karena itu, para sahabat menilai jika seseorang bersikap manis di hadapan penguasa dan memujinya, namun menjelek-jelekkan sang penguasa ketika di belakangnya, maka para sahabat menilai tindakan seperti ini sebagai sebuah kemunafikan.

قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ: إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا، فَنَقُولُ لَهُمْ خِلاَفَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ، قَالَ: كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا

Beberapa orang berkata kepada Ibnu Umar, “Dahulu, jika kami menemui penguasa kami, kami mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang kami katakan ketika kami telah meninggalkannya.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Yang demikian itu kami anggap sebagai suatu kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 7178)

Baca pembahasan selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 5)

***

Diselesaikan di pagi hari, Rotterdam NL, 27 Rajab 1439/ 14 April 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/39378-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-04.html